Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Saat ini TB masih merupakan masalah kesehatan yang sangat penting. Laporan data WHO tahun 2004 menunjukkan bahwa pada tahun 2003 terdapat 8,8 juta kasus TB baru, 3,9 juta diantaranya adalah BTA (Basil Tahan Asam) positif, prevalensi 16,2 juta dengan 1,9 juta kematian setahunnya. Indonesia merupakan negara dengan kasus TB terbesar ketiga di dunia setelah India dan Cina. Pada tahun 2002 dilaporkan jumlah kasus TB dengan BTA positif di India adalah 1.820.369 orang, di Cina 1.447.947 dan di Indonesia 581.847 orang.
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif ini diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif dalam 2 bulan. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Jenis dan sifat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yaitu: (a) Isoniazid (H) bersifat bakterisid, (b) Rifampisin (R) bersifat bakterisid, (c) Pirazinamid (Z) bersifat bakterisid, (d) Streptomisin (S) bersifat bakterisid, (e) Etambutol (E) bersifat bakteriostatik. Pemberian OAT disesuaikan dengan kondisi pasien dengan aturan pakai tersendiri. Ada dua kategori paduan OAT di Indonesia, yaitu: (a) kategori I: 2(HRZE)/4(HR)3, (b) kategori II: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. Kategori I diberikan untuk pasien baru TB paru BTA positif, pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif, pasien TB ekstra paru. Kategori II diberikan untuk pasien TB BTA positif yang telah diobati sebelumnya.
Seiring dengan berkembangnya pengetahuan dibidang farmakologi, saat ini telah dibuat tablet kombinasi OAT yang dikenal dengan OAT “fixed-dose combination” atau disingkat dengan OAT-FDC (sering disebut FDC saja). Dengan adanya FDC ini diharapkan kepatuhan pasien TB dalam minum OAT dapat ditingkatkan sehingga akan meningkatkan kesembuhan pasien.
Gejala
Penyakit TB memiliki gejala-gejala sebagai berikut: btuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih, dahak bercampur darah, sesak nafas dan nyeri pada dada, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan turun, berkeringat di waktu malam walaupun tidak beraktivitas, demam meriang lebih dari 1 bulan.
Sasaran
Adapun yang menjadi sasaran terapi penyakit TB adalah kuman penyebab penyakit tersebut yaitu Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini berbentuk batang, tahan terhadap asam oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Selain itu kuman ini hidup di daerah yang memiliki kandungan oksigen tinggi sehingga tempat utamanya adalah paru.
Tujuan
Dengan memberikan FDC kepada pasien TB diharapkan pasien akan lebih mudah dalamminum OAT karena jumlah tabletnya lebih sedikit. Selain itu dapat meminimalkan efek samping OAT. Hal ini karena formula dosis FDC disesuaikan dengan berat badan pasien dan jumlah komponen obat yang harus diminum pasien. Dengan adanya FDC, tingkat kepatuhan pasien dalam minum obat akan lebih tinggi karena pengaruh psikis pasien dari melihat jumlah tablet yang harus diminum, tidak sebanyak dibandingkan dengan pemberian OAT dalam tablet yang terpisah.
Strategi Terapi
Strategi terapi untuk penyakit TB dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Strategi terapi ini direkomendasikan oleh WHO pada tahun 1995 sebagai penganggulangan TB. DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu (a) komitmen politis, (b) pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya, (c) pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan, (d) jaminan ketersediaan OAT yang bermutu, (e) sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian menurunkan insiden TB di masyarakat.
Dalam strategi DOTS, pengobatan TB dilakukan baik dengan pemberian OAT dalam bentuk tablet terpisah maupun dengan pemberian OAT-FDC. Kedua jenis OAT ini dapat diperoleh pada unit pelayanan kesehatan meliputi puskesmas, rumah sakit pemerintah dan swasta, rumah sakit paru, Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4), klinik pengobatan lain serta dokter praktek swasta. Di Indonesia OAT tersebut diberikan secara cuma-cuma dan dijamin ketersediannya oleh pemerintah. Selain itu pasien TB juga diharuskan memiliki PMO (Pengawas Minum Obat) sehingga dapat menjamin kepatuhan pasien dalam minum OAT. Setiap pasien TB harus memiliki kartu pengobatan dan kartu identitas pasien. Kedua kartu tersebut diperoleh saat pasien berobat di unit pelayanan kesehatan. Adapun fungsi kedua kartu tersebut yaitu sebagai laporan terhadap hasil pengobatan pasien sehingga jalannya pengobatan dapat terkontrol dengan baik.
Obat Pilihan
Jenis-jenis tablet FDC dikelompokkan menjadi 2, yaitu: FDC untuk dewasa dan FDC untuk anak-anak. Tablet FDC untuk dewasa terdiri tablet 4FDC dan 2FDC. Tablet 4FDC mengandung 4 macam obat yaitu: 75 mg Isoniasid (INH), 150 mg Rifampisin, 400 mg Pirazinamid, dan 275 mg Etambutol. Tablet ini digunakan untuk pengobatan setiap hari dalam tahap intensif dan untuk sisipan. Tablet 2 FDC mengandung 2 macam obat yaitu: 150 mg Isoniasid (INH) dan 150 mg Rifampisin. Tablet ini digunakan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu dalam tahap lanjutan. Baik tablet 4FDC maupun tablet 2FDC pemberiannya disesuaikan dengan berat badan pasien. Untuk melengkapi paduan obat kategori II tersedia obat lain yaitu: tablet etambutol @400 mg dan streptomisin injeksi (vial @750 mg).
Tablet FDC untu anak-anak terdiri dari tablet 3FDC dan 2FDC. Kedua jenis tablet diberikan kepada pasien TB anak yang berusia 0 – 14 tahun. Tablet 3FDC mengandung 3 macam obat antara lain: 30 mg INH, 60 mg Rifampisin, dan 150 mg Pirazinamid. Tablet ini digunakan untuk pengobatan setiap hari dalam tahap intensif. Tablet 2FDC mengandung 2 macam obat yaitu: 30 mg INH dan 600 mg Rifampisin. Tablet ini digunakan untuk pengobatan setiap hari dalam tahap lanjutan. Sama halnya dengan pemberian pada pasien dewasa, pemberian jumlah FDC pada pasien anak juga disesuaikan dengan berat badan anak.
Dosis dan aturan pakai FDC disesuaikan dengan berat badan pasien. Untuk pasien TB dewasa yang masuk dalamkategori I dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Berat Badan
Tahap Intensif tiap hari
selama 56 hari
Tahap Lanjutan 3 kali
seminggu selama 16 minggu
30 – 37 kg
2 tablet 4FDC
2 tablet 2FDC
38 – 54 kg
3 tablet 4FDC
3 tablet 2FDC
55 – 70 kg
4 tablet 4FDC
4 tablet 2FDC
≥ 71 kg
5 tablet 4FDC
5 tablet 2FDC
Sedangkan untuk pasien TB dewasa yang masuk dalamkategori II, dosis dan aturan pakai FDC yang harus diberikan yaitu:
Berat badan
Tahap Intensif tiap hari
Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama 20 minggu
Selama 56 hari
Selama 28 hari
30 – 37 kg
2 tab 4FDC
+ 500 mg Streptomisin Inj.
2 tab 4FDC
2 tab 2FDC + 2 tab Etambutol
38 – 54 kg
3 tab 4FDC + 750 mg Streptomisin Inj.
3 tab 4FDC
3 tab 2FDC + 3 tab Etambutol
55 – 70 kg
4 tab 4FDC + 1000 mg Streptomisin Inj.
4 tab 4FDC
4 tab 2FDC + 4 tab Etambutol
≥ 71 kg
5 tab 4FDC + Streptomisin Inj.
5 tab 4FDC
5 tab 2FDC + 5 tab Etambutol
Catatan:
Setiap vial Streptomisin mengandung 750 mg dilarutkan dalam 3 ml aquabidest. Dosis ini dapat dianggap sebagai 3 dosis @ 250 mg yang digunakan untuk kelompok pasien dengan BB 38 – 54 kg. Untuk kelompok pasien dengan BB lain, dosisnya disesuaikan dengan jumlah tablet yang diminum, misalnya untuk pasien yang memerlukan hanya 2 tablet, juga hanya memerlukan 2 ml suntikan sterptomisisn (1 ml = 250 mg. Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun diberikan suntikan streptomisin maksimum 500 mg/hari. Injeksi streptomisin diberikan setelah pasien selesai menelan obat.
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan pada pasien TB BTA positif tidak terjadi konversi maka diberikan OAT sisipan berupa tablet 4FDC setiap hari selama 28 hari.
Dosis dan aturan pakai FDC untuk anak-anak yaitu:
Berat Badan
Tahap Intensif tiap hari
selama 2 bulan
Tahap Lanjutan tiap hari
selama 4 bulan
≤ 7 kg
1 tablet 3FDC
1 tablet 2FDC
8 – 9 kg
1,5 tablet 3FDC
1,5 tablet 2FDC
10 – 14 kg
2 tablet 3FDC
2 tablet 2FDC
15 – 19 kg
3 tablet 3FDC
3 tablet 2FDC
20 – 24 kg
4 tablet 3FDC
4 tablet 2FDC
25 – 29kg
5 tablet 3FDC
5 tablet 2FDC
OAT-FDC tersedia dalam kemasan blister. Tiap blister terdapat 28 tablet. Tablet 4FDC dan 2FDC dikemas dalam dos yang berisi 24 blister @28 tablet. Untuk tablet etambutol 400 mg dikemas dalam dos yang berisi 24 blister @ 28 tablet. Streptomisisn injeksi dikemas dalam dos berisi 50 vial @ 750 mg. Untuk penggunaan streptomisin injeksi diperlukan aquabidest dan disposable syringe 5 m l dan jarum steril. Aquabidest tersedia dalam kemasan vial @ 5 ml dalam dos yang berisi 100 vial.
Efek samping dari OAT-FDC umumnya sama dengan efek samping dari penggunaan OAT yang dalam tablet terpisah. Beberapa efek samping yang muncul berupa hilangnya nafsu makan, mual kadang disertai muntah, sakit perut, nyeri sendi, gatal dan kemerahan pada kulit, kesemutan hingga rasa terbakar di kaki, gangguan keseimbangan. Selain itu efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena kelebihan dosis. Efek samping dari OAT tersebut diperkirakan terjadi pada sekitar 3 – 6 % pasien yang mendapat pengobatan dengan FDC. Bila diketahui dengan pasti bahwa FDC penyebab efek samping seperti yang disebutkan sebelumnya dan obat tersebut tidak dapat diberikan kembali, maka pasien diberikan OAT yang dalam bentuk tablet terpisah (OAT kombipak).
Pengobatan TB perlu diperhatikan untuk pasien yang berada dalam kondisi khusus misalnya pasien wanita hamil, pasien dengan penyakit tertentu seperti DM, gagal ginjal, memiliki kelainan hati kronik. Untuk pengobatan TB pada wanita hamil perlu diperhatikan pada penggunaan streptomisin. Streptomisin tidak dapat digunakan pada kehamilan. Hal ini karena streptomisin bersifatpermanent ototoxic dan dapat menembus barier plasenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan.
Pasien DM harus selalu dikontrol dalam pengobatannya. Jika pasien juga menderita TBC perlu diperhatikan dalam penggunaan rifampisin, karena rifampisin dapat mengurangi efektivitas antidiabetika oral gol sulfonil urea sehingga perlu peningkatan dosis antidiabetika tersebut. Pasien DM yang memperoleh pengobatan insulin seringkali terjadi komplikasi retinopathy diabetika, oleh karena itu perlu diperhatikan untuk pemberia etambutol karena dapat memperparah kejadian tersebut.
Pasien TB dengan gagal ginjal sebaiknya tidak menggunakan streptomisin dan etambutol dalam pengobatannya. Hal ini karena kedua obat tersebut diekskresi melalui ginjal. Jika tetap diberikan memungkinkan obat tersebut tidak dapat dieksresikan dari dalam tubuh karena ketidakmampuan ginjal. Akibatnya akan menimbulkan efek toksik dalam tubuh. Oleh karena itu dapat diberikan pengobatan dengan INH, rifampisin, dan pirazinamid untuk pasien TB dengan gagal ginjal. Ketiga obat tersebut diekskresi melalui empedu dan dapat diubah menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien TB dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.
Pengobatan TB pada pasien dengan kelainan hati kronik dapat dilakukan jika pasien sudah melakukan pemeriksaan hati. Jika nilai SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali maka OAT tidak diberikan dan bila sudah dalam pengobatan maka harus dihentikan. Jika peningkatannya kurang dari 3 kali maka pengobatan tetap dapat dilakukan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati tidak boleh diberikan pirazinamid. Paduan OAT yang dianjurkan untuk pasien TB dengan kelainan hati yaitu 2RHES/6RH atau 2HES/10HE.
Pencegahan terhadap penyakit TB dapat dilakukan dengan hidup sehat dengan makan makanan bergizi dan teratur, istirahat yang cukup, olah raga teratur, hindari rokok, minuman beralkohol, obat bius, hindari stress. Kemudian untuk mencegah terjadinya penularan TB, maka para pasien TB diharapkan menutup mulut saat batuk dan tidak meludah di sembarang tempat. Usaha pencegahan lainnya yaitu dengan melakukan imunisasi BCG (Bacillus Calmette-Guerin) yang akan memberikan kekebalan aktif pada penyakit TB. Selain itu menjaga daya tahan tubuh juga penting dalam mengantisipasi penyakit TB. Dengan daya tahan tubuh yang kuat maka tidak mudah untuk terserang infeksi oportunistik (TB).
Tidak hanya AIDS yang memiliki hari peringatan tetapi TB pun memiliki hari peringatan yang jatuh pada tanggal 24 Maret. Tahun ini peringatan hari TB sedunia bertemakan “Every Breath Counts, Stop TB now!”. Tema ini menekankan pada kata “breath” yang tidak hanya berarti pernafasan tetapi juga merupakan pusat dari segala aktivitas manusia. Jadi, jika “breath” manusia rusak karena TB maka akan merusak juga seluruh aktivitas manusia. Tema ini mengingatkan akan bahaya TB dan urgensi pemberantasannya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2006, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, edisi 2, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
Anonim, 2004, Petunjuk Penggunaan Obat FDC Untuk Pengobatan Tuberkulosis Di Unit Pelayanan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
Frida, E., Ibrahim, S., Hardjoeno, 2006, Analisis Temuan Basil Tahan Asam Pada Sputum Cara Langsung dan Sediaan Konsentrasi Pada Suspek Tuberkulosis, Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, vol.12, diakses tanggal 19 Desember 2007
No comments:
Post a Comment