dr. Inu Wicaksono, SpKJ.
PASIEN YANG TERAKHIR 1
Tetes embun pagi terjatuh di dedaunan ketika semilir angin pagi lembut menggoyang dahan dahan di halaman luas RSJ Peninggalan Belanda itu. Cicit burung bersahut-sahutan menyambut pagi. Kartowiyoga, 50 tahun, menggelihat bangun. Hmm ya, ia masih di RSJ.
Ini berawal tahun 1967, ketika awan panas "wedus gembel" Merapi mendadak tiba dan melumat desanya. Desa Sumberejo, Turga, Kaliurang, Sleman. Kartowiyoga lagi di sawah yg agak jauh ketika itu. Anak lelakinya di sekolah SD, istri dan anak perempuan kecilnya lagi memasak di rumah. Kartowiyoga seperti orang gila lari pulang sambil teriak-teriak. Tapi ia ditahan teman-temannya. Kembali pulang sama saja bunuh diri.
Karto ditelikung dan diajak lari ke Pakem, Sleman. Ia ditampung di Tempat Penampungan Sementara (TPS). Karto mencari anak istrinya di semua TPS tapi tak menemukannya. Tak ada seorangoun tahu. Apakah mereka berhasil lari, atau terkubur di pasir abu panas. Seperti desa Sumberejo yang telah menjadi lautan pasir dan abu.
Kartowiyoga sedih. Hancur hatinya. Ia menyendiri dan melamun saja. Selang seminggu ia mulai bicara sendiri, terkekeh-kekeh sendiri seakan melihat keluarganya pulang, kadang berlari kencang seakan mendengar suara anak-anaknya memanggilnya dari kejauhan. Tapi kadang ia menangis keras, menggulung gulung diri ditanah, lalu bersamadhi dengan bertelanjang. Kadang pula ia malam-malam bertelanjang diri jalan-jalan tanpa malu.
Oleh para tetangga sesama penghuni TPS, Karto dibawa ke RSJ Kramat Magelang. Karena RSJ "Lali Jiwo" Pakem sedah penuh. Karto dipondokkan, sekarang sudah hampir 2 tahun.
Tiba-tiba punggung Karto disodok temannya, untuk bergiliran mandi. Setelah membersihkan dan merapikan tempat tidur, Karto mengguyur diri dengan air dingin yang segar. Selesai mandi, Karto dan teman-temannya menyapu dan mengepel lantai, setelah gerak badan di halaman beberapa menit. Dan tiba waktunya sarapan pagi. Setelah sarapan pagi, Karto dan teman-temannya menyiapkan diri berangkat ke Unit Rehabilitasi.Menggarap tanah pertanian, kebon ketela pan pepaya, memelihara kambing dan sapi.
"Hallo Pak Karto, selamat pagi, ada waktu", teriak hangat seorang laki-laki tinggi besar berkulit putih, dengan kumis dan jenggot lebat putih panjang keemasan. Inilah Prof Dr Bernet Mulder, direktur utama orang Belanda yang ketiga sejak berdirinya "Kraanzinnigengestait" Kramat Magelang (tempat penampungan orang gila). Prof Bernet sudah lebih 10 tahun jadi Direktur di Kramat. Istrinya, seorang dokter syaraf, tidak betah tinggal di Jawa. Ia selalu cinta hawa dingin di Leiden Nederland, kota kelahirannya. Akhirnya Prof Bernet berpisah dengan istrinya. Dia kembali ke Belanda dengan seorang anak lelakinya.
"Hallo, selamat pagi, Bapak Prof! Anda perlu apa?" teriak Kartowiyoga pula.
"Ah, ya, sedikit bantuan. Tolong tanamkan bibit pohon pepaya dan mangga ini disini dan disana".
"Siap Bapak Prof". Karto segera menyambar keranjang rumput, arit dan paculnya, menuju rumah dinas sang direktur. Rumah ini cukup besar dengan arsitektur Eropa. Halamannya juga cukup luas, terletak di gedung paling depan kiri dari pintu utama yang melengkung. Karto selalu suka bila dipanggil berkebun "bapak Prof" yang ramah dan baik hati itu. Prof Bernet tak menganggapnya sakit jiwa. Ia hanya punya penderitaan cukup berat. Dan perilakunya hanyalah kompensasi atau proyeksi untuk menutup luka batinnya akibat kehilangan orang-orang tercinta.
Prof Bernet sendiri juga orang yang amat menderita karena kehilangan istri dan anaknya ke Negeri Belanda. Sedang ia tak bisa meninggalkan pekerjaannya di Jawa. Memimpin sebuah RSJ besar untuk mengobati dan menampung mereka yang sakit jiwa di Jawa.
Itulah sebabnya profesor yang berusia 75 tahun itu sering merenung dan melamun sendirian di teras depan rumahnya. Mengisap tembakau Temanggung dari pipanya dari gading. Dan segelas besar kopi panas yang mengepul.
"Hmm, ia sepertiku"batin Karto. "Bedanya aku seorang petani miskin di desa Turgo dan ia profesor dokter ahli jiwa dari negeri Belanda. Tapi nasibnya sama persis. Tapi si Prof itu bila pulang balik ke negerinya, akan bisa ketemu istri dan anaknya lagi. Sedang aku?, ahh embuh.
Dari tetangga-tetangganya yang menengok, ada berita yang menggemparkan. Istri Karto dan kedua anaknya selamat, bersama 3 orang tetangga. Mereka diselamatkan Tim SAR dari Jogja dengan mubil pickup bukaan. Dijemput beberapa menit sebelum "wedhus gembel" menggebu. Dilarikan ke Cangkringan Sleman.
Mereka juga tinggal di TPS TPS disana. Berhari hari mereka tak mendengar berita tentang Kartowiyoga. Mereka mengira Karto tak tertolong, dan mereka tak kembali ke rumahnya yang sudah hilang terimbun debu panas dan pasir.
(BERSAMBUNG).
No comments:
Post a Comment