HALAMAN

Tuesday, April 21, 2020

KISAH PASIEN YANG TERAKHIR 2

PASIEN YANG TERAKHIR 2

dr. Inu Wicaksono, SpKJ.

Mereka tetap saja di Cangkringan karena disana dibuatkan tempat hunian sementara yang cukup bagus. Ah, itu berita benar, atau bohong-bohongan untuk sekedar menghiburku. Pikir Karto. Dan Karto ingin membuktikan. 

Tapi bila ia ingin pulang, ia selalu dilarang karena kondisi mentalnya belum baik benar dan pulang untuk apa?.
Beberapa hari sesudah itu, suatu sore, ia membawa keranjang rumput dan sabitnya ke halaman rumah dinas Prof Bernet. Karto selalu senang merumput sore hari sampai magrib karena tidak panas. Prof Bernet sedang menyiapkan diri untuk praktek sore di ruang tamunya yang luas. Dari jauh, melalui jendela rumah yang panjang dan besar,. 

Karto melihat tubuhnya yang tinggi besar memakai sneijas putih dari drill lengan panjang dan baju abu-abu berdasi hilir mudik di ruang tamunya. Kemudian si prof itu duduk. Ruang prakteknya adalah pojok ruang tamu yang disekat dengan dua rak buku tinggi.

Kartowiyoga mulai menyiangi rumput lebat disamping kiri jendela besar tinggi ruang tamu Prof. Tiba-tiba ia mendengar Prof mulai praktek. Wawancara itu dalam bahasa Belanda. Suara pasien itu bernada agak tinggi, nyaring, sedang Prof Bernet lebih rendah, berat bariton. Kemudian pasien itu berbicara terus sambil jalan hilir mudik di ruang tamu. Inilah gaya psikoterapi analitik di negeri Eropa dan
Amerika. Pasien boleh tidur setengah baring di sofa, bisa pula jalan-jalan di ruangan asal di bicara terus mengekspresikan perasaannya.

Tiba-tiba pasien itu berdiri di samping jendela tinggi ruang tamu. Terus berbicara sambil melihat pemandangan senja yang temaram. Alangkah kagetnya Kartowiyoga. Pasien itu tinggi besar, putih, orang Belanda, dengan kumis lebat dan jenggot panjang putih keemasan. Sangat mirip dengan Prof. Bajunya biru lengan pendek dan berdasi pula. Ia berbalik dan berjalan ke arah Prof Bernet. Tapi Karto tak bisa melihat prof karena posisinya tertutup sekat rak buku tinggi. Karto ingin sekali bergeser ke depan tapi percumah. Pintu depan yang berkaca selalu tertutup selambu. 

Jadi Karto hanya mendengar suara Prof Bernet yang bernada rendah, berat, bariton, berselang seling dengan suara pasien itu.
Adzan maghrib sudah lama terdengar. Senja mulai gelap. Tapi lampu lampu di rumah Prof belum juga dinyalakan. Sialan si Giman, kemana dia, pembantu rumah amatir yang bekas pasien, pikir Kartowiyoga. 

Pasien itu berdiri dan jalan jalan lagi, sambil bicara pelan pelan, di dekat jendela. Untuk terakhir kalinya Karto mengamati. Ia bergeser ke dekat jendela, tetap jongkok, dari luar. Ah, pasien itu benar benar mirip Prof. Juga gerak gerak tangannya amat mirip Prof. Apakah Prof Bernet punya saudara kembar? Entahlah. Ruang tamu sudah remang-remang gelap. Sepi. Dan bayangan tinggi besar di jendela terasa menyeramkan.

Kartowiyoga balik ke bangsalnya. Membersihkan diri. Dan makan malam tanpa berkata kata. Lalu duduk melamun sambil merokok di teras depan bangsalnya. Ia berpikir terus sampai puyeng. Peristiwa ganjil 9 baru saja dilihatnya. Akhirnya Karto tertidur di ranjangnya dengan kepala puyeng memikirkan itu.

Esok harinya RSJ Kramat gempar. Jam 05.00 pagi dua perawat ronde malam yang mau pulang melihat jendela rumah dinas direktur masih terbuka dan lampunya mati. Mereka segera lapor Satpam dan berlari lari mereka mendekat. Prof Dr Bernet Mulder ditemukan duduk biasa di kursi prakteknya yang besar. Kepalanya tertunduk dan sedikit tersenyum. Beliau meninggal. 

Tangan kanannya masih memegang alat tulis dan catatan psikoanalitik pasien pasiennya terbuka di mejanya. Dalam bahasa Belanda. Kata-kata dari wawancara asosiasi bebas yang tak bisa diartikan. Tapi tak tertulis nama pasien seorangpun tadi malam. Giman tak ada, jadi tak ada seorangpun yang bisa ditanyai.

Pagi hari jam 06.00 tiga dokter muda berlarian. Juga para perawat dan pegawai administrasi. Kesibukan mendadak yang luar biasa. Apakah beliau bunuh diri. Tak ada tanda tanda untuk itu. Atau kemungkinan serangan jantung? Sirine dua mobil patroli polisi meraung di keheningan pagi. Menyeliki kasus kematian mendadak penguasa RSJ yang baik hati ini.

Kartowiyoga mandi dan segera mengganti baju celana seragam bangsalnya, dengan celana kolor hitam pendek selutut, kaos blong putih yang sudah kumal, dan surjan lurik yang sudah kumal pula. Miliknya sendiri. Sedikit barang2 nya dimasukkan dalam buntalan kain. Dipakainya capil bebek di gudang. Aritnya di sengkelitkan di punggung. Lalu jalan keluar lewat pintu belajang. Bangsalnya sepi karena semua orang berkerumun mengelilingi rumah dinas direktur yang dicintai dan dihormati itu.

Karto berjalan pelan ke sudut pagar selatan. Ia tak akan melompati pagar, karena nanti ada yang lihat. Ia menuju ke sudut pagar. Disitu ada pintu kecil hanya cukup satu orang. Engsel dan tempat gembok sudah karatan karena tak pernah dibuka, dan tak perlu digembok. Tersembunyi di antara tanaman2 pagar depan yang rimbun. Dengan aritnya Karto membuka karat tempat gembok. Membuka pintu dengan suara berderit pelan. Menyelinap keluar. Pintu karatan ditutupkannya lagi dengan rapi. Karto menoleh ke kiri kanan. Tak ada seorangpun yang mempedulikannya. Semua masih sibuk dan pikuk.

Karto berjalan dengan santai, tidak nampak terburu buru. Ia mencangklong buntalannya, dengan arit di punggung, dan capil bebek. Lalu ia mengangkat tangannya. Mencegat bis menuju Jogja, ke terminal Magelang dulu lalu pindah bis ke Kaliurang, desa Turgo. 

Karto menaiki pintu bis. Membayar karcis pada kondektur dengan tabungannya yang cukup banyak. Ia memandang kaca depan bis, dan membayangkan istri dan kedua anaknya bersorak menyambutnya dengan gembira.

Tiba tiba ia berbalik ke belakang. Melihat regol RSJ kuno yang telah dihuninya selama dua tahun. Dan direkturnya yang baik hati, dicintai dan dihormati. Dan telah menjadi sahabatnya. "Selamat tinggal dan selamat jalan "bapak Prof". Kau sangat baik dan menjadi sahabatku selama ini. Kudoakan semoga lancar jalanmu menghadap Tuhan. Diampuni dosa2mu. Kelak kita akan bertemu lagi. Di sorga".****
(TAMAT)

No comments:

Post a Comment